Ku raih tissue di meja, ku lap
pipi yang dibasahi air mata, sementara ibu menglap wajahnya dengan jilbab yang
dikenakannya. Perdebatan itu membuat kami saling menangis duduk saling menjauh.
Sementara ayah hanya bisa memberikan nasehat agar kami bisa lebih tenang.
Dialah sosok yang bijaksana diantara kami yang saling bersikukuh dengan
pendapat masing-masing.
Berawal dari percakapan setelah
magrib itu, ibu lagi-lagi membahas topik yang sama.’ Kapan kau akan menikah
putri? tak ingatkah kau berapa umurmu sekarang, coba kau bayangkan untuk makan
saja kita perlu usaha begitu juga dengan jodoh, kita harus bisa mengupayakannya
agar bisa menemukannya’ aku hanya diam tak ingin menyela nasehatnya. Diapun
melanjutkan jika kau tidak mengupayakannya yakinlah bahwa dia tidak akan datang
dengan sendirinya, kau harus berusaha dan bergaullah. Apakah tak ada seorangpun
laki-laki yang kau temui ditempat kerjamu atau tak adakah teman laki-lakimu
semasa sekolah dan semasa kuliahmu?
Lagi-lagi aku tak kuasa menjawab
pertanyaan ibu, rasanya sudah berulangkali juga aku mengingatkan ibu agar dia
peracaya dengan diriku, percaya dengan keputusan Rabb yang tidak akan
menyia-nyiakan hambaNYA. Aku yakin jodoh, reski, pertemuan dan perpisahan sudah
diaturNYa. Aku hanya tinggal menunggu kapan tiba saat-saat itu. Namun di usiaku
saat ini, aku juga sadar bahwa ibu sangat gelisah melihat anak gadis bontotnya
ini belum juga menumukan jodohnya.
Akupun menguatkan diri menjawab
semua pertanyaan ibu, ku jelaskan bagaimana sebernanya aku juga sedih dengan
semua ini, namun apa boleh buat, jodoh tak dapat di paksakan agar segera
datang. Ku yakinkan ibu agar dia percaya bahwa sebenarnya jodohku itu sudah
ada, tapi kapan saatnya Dialah yang maha menentukan. ku ceritakan bagaimana
teman-temanku yang jauh lebih tua dari ku juga belum menikah, bagaimana mereka
yang sabar menunggu dan akhirnya pun menemukan jodohnya.
Namun ku lihat ibu sepertinya
tidak puas dengan jawabanku, aku kaget sekali ketika dia berkata,’ makanya
jangan berteman dengan orang-orang seperti itu, itulah sebabnya dirimu
ketularan mereka yang belum-belum juga menikah’ terlalu banyak memilih, merasa
diri lebih baik dan tak bisa menerima kekurangan orang lain, sombong sekali menolak orang yang datang
padamu, yang seperti apakah yang kau inginkan’
Aku tak menyangka ibu akan
mengeluarkan kata-kata seperti itu. Hatiku sakit, sedih. Mengapa orang yang
selama ini yang aku harapkan bisa meringankan beban di pundakku ternyata begitu
marah dengan keputusanku beberapa bulan yang lalu menolak seseorang laki-laki
yang sudah mapan.
Air mata mulai membasahi pipiku,
tak kuasa aku mendengar semua ucapan ibu kepadaku. kupegang erat tangannya
memohon maaf telah mengecewakannya. betapa aku sangat menyayangi dirinya,
dialah yang menjadi semangat hidupku, betapa aku sangat ingin membuat dia
bahagia. Namun untuk semua itu aku belum mampu mewujudkannya, aku mohon
maaf ibu, kau lah yang segalanya buatku.
Aku lemah aku mohon jangan kau sakiti hatiku, aku akan terus berusaha, dan aku
yakin akan menemukannya kerena doa-doa darimu.
Ku tinggalkan ibu yang mulai
menangis, dan beranjak duduk menjauh darinya, ku rebahkan diri di kursi tamu
mencoba menenangkan diri, kurasakan dingin badan karena percikan air dari kolam
ikan tempat kami memancing ikan, aku bersorak senang karena pancinganku di
sambar ikan. Dia pun membantu menarik pancingan, kami tertawa berlalu pulang
membawa hasil pancingan.
Kulihat dia sibuk sekali
membersihkan ikan yang kami dapatkan, sedangkan aku hanya menatapnya,
memperhatikannya yang dengan cekatannya mengoyangkan pisau membersihkan ikat.
Tak menyangka ternyata dialah
mujahid yang di janjikan Allah buat diriku, proses ta’aruf berjalan begitu
cepat, meski tertaut usia beberapa tahun dibawahku tidak menjadikannya menolak
lamaran yang di ajukan tante, meski sebenarnya aku sudah lama mengenalnya tapi
tak pernah terbesit dalam hatiku untuk berangan-angan menjadi istrinya. Sosok pemuda
yang begitu semangat dalam dakwah menjadikan dirinya idola yang diimpikan para
akhwat membuat diriku menyadari diri sendiri dan tak berani memimpikannya. Ternyata
Allah yang mengetahui dia pertemukan kami dalam sebuah ikatan yang suci.
Ia memanggil-manggil diriku yang
dari tadi sibuk membersihkan piring-piring bekas makan di dalam rumah,
sedangkan dia berada di halaman sedang membakar ikan hasil pancingan kami. Akupun
segera menemuinya dengan membawakan semangkok nasi putih dan beberapa daun
pisang untuk makan di halaman rumah. Lama sekali katanya, lapar nich, makan
yuck.... ku tuangkan nasi ke atas daun pisang yang dibentangkan di atas
rerumputan, di letakkannya ikan yang telah selesai dibakar di atas nasi dan
duduk melingkar di pinggir hidangan yang kami buat sepenuh hati. Tapi dia malah
berdiri sambil melihat kiri dan kanan, cari siapa tanyaku, lagi cari si iqbal
dan fikri mana ya, katanya.. mungkin lagi main bola di rumah sebelah jawabku
singkat, tunggu ya, aku akan memanggilnya katanya. Dia berlalu tanpa sempat ku
berikan jawaban.
Semangkok nasi dan tiga ekor ikan
bakar kami habiskan dengan seketika. Aku tersenyum bersyukur atas nikmat yang
diberikan Allah SWT, betapa DIA begitu cepat mengabulkan doa-doa hambaNYA, Maka
nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Terasa ada tangan yang
mengoyang-goyangkan tubuhku, aku pun terbangun ‘ sholat subuh put, sudah azzam’
kata ibu, mimpi yang terasa nyata sekali menyadarkan diriku dan terus berharap
semua itu menjadi nyata.
0 komentar:
Posting Komentar